Text
The Freak Show:Bukan Perempuan Tontonan
Banyak cara untuk bercerita, menyampaikan pesan, berkampanye, atau bahkan memberi advokasi. Mulai dari cara yang runut, lurus, konvensional, sampai ke cara yang meloncat-loncat, unik, atau tidak biasa. Novel The Freak Show (TFS), yang ditulis oleh motivator dan career coach Rino Sutan Sinaro, adalah termasuk jenis yang kedua.
TFS dapat disebut ”novel advokasi,” yang cara penuturan kisahnya tidak memenuhi aturan konvensional. Cerita novel yang bersetting dunia pertelevisian ini disajikan dalam bab-bab tertentu, berselang-seling dengan bab-bab lain, yang menyajikan cuplikan berbagai program televisi, program radio, dan kutipan artikel suratkabar.
Program-program televisi itu sendiri, mulai dari berformat talkhow, siaran iklan, sampai sinetron mini seri, sebenarnya merupakan pesan kampanye tersendiri. Konten program-program itu sengaja ditampilkan oleh Rino Sutan Sinaro sebagai contoh format program televisi yang baik, mencerdaskan, dan mencerahkan.
Singkat kata, isi novel ini sebetulnya merupakan kritik keras dan tajam terhadap berbagai praktik negatif di dunia penyiaran Indonesia, yang ironisnya saat ini justru diterima sebagai suatu ”kelaziman” dalam mainstream dunia pertelevisian. Contoh ”kelaziman” yang salah kaprah itu di antaranya, mulai dari tayangan yang mengumbar kekerasan dan seks, perilaku kebanci-bancian, iklan yang menyesatkan, dan sebagainya.
Memang, jika kita amati pesan yang kita terima tiap hari secara berulang dari media televisi, terasa bahwa pesan kemelaratan, kekerasan, gaya hidup hedon dan materialistik adalah pesan yang dominan. Jadi, tak perlu heran jika di alam bawah sadar, kita lalu memandang dunia sebagai tempat yang kejam, keras, dan untuk selamat kita harus hidup serba instan. Sukses secara instan, free sex, pakaian mini yang mengobral aurat. Serta, pesan bertubi-tubi lewat iklan bahwa perempuan yang cantik haruslah yang berkulit putih, berambut lurus dan berhidung mancung (hlm.111-112).
Media TV seharusnya membebaskan diri dari perangkap cara pandang keliru tersebut. Dalam bahasa Budhiastuty atau Bunda Dhias, tokoh utama dalam novel ini: ”....stasiun TV seharusnya mendorong masyarakatnya untuk mempunyai semangat hidup dan berkehidupan yang baik dengan tidak menayangkan tontonan yang mendorong kekerasan, sakit hati, dan jalan pintas. Oleh karena itu kami mendesain agar penonton kami selalu optimis, kreatif, disiplin, dan peduli sesama dalam menjalani hidup mereka” (hlm. 9).
Tokoh sentral novel ini adalah Bunda Dhias, seorang presenter acara berita di sebuah stasiun televisi, yang memutuskan untuk memakai jilbab, justru sesudah pulang dari belajar selama tiga tahun di Amerika. Keinginan Dhias itu bertentangan dengan ”ketentuan baku” di stasiun televisi bersangkutan, sehingga karena alasan prinsip, Dhias pun mengundurkan diri.
Sesudah sempat menjadi analis lepas di sebuah perusahaan komunikasi strategis, akhirnya ia bekerja di Modern TV, yang lahir dari idealisme untuk menghadirkan tontonan yang sehat, bermanfaat, dan mendidik bagi masyarakat. Sebagai CEO Modern TV, Dhias ingin membangun komunitas nasyarakat Indonesia yang maju, optimis, kreatif dan tawakal. Dalam misinya itu, Dhias didukung oleh aktris terkenal Shantee dan penyiar radio kondang, Imam.
Namun, niat baik ini ternyata juga menghadapi banyak hambatan dan tantangan, dari pihak-pihak yang merasa terganggu kepentingannya. Gedung stasiun Modern TV itu diserang oleh kelompok bersenjata, yang kemudian menewaskan dua karyawan Modern TV. Tetapi, serangan-serangan kekerasan ini justru semakin menegaskan keyakinan Dhias, bahwa langkah berani yang diayunnya sudah berada di jalur yang benar.
Bagi kalangan pembaca awam, bab-bab awal novel ini akan terasa membingungkan karena pola penuturan ceritanya yang tidak linier, bahkan terkesan meloncat-loncat. Setting waktunya juga berpindah-pindah, dari masa lampau ke masa kini, lalu balik ke masa lampau lagi, dan begitu seterusnya. Itu pun sambil diselingi dengan konten program-program TV, yang oleh si penulis sengaja dirancang untuk menyampaikan pesan advokasi dan informasi lain lagi.
Novel dengan tema dan cara penyampaian yang unik ini, meski alur penceritaannya tidak kronologis, berhasil menyampaikan pesan agar pembaca –yakni, para konsumen media TV-- lebih menaruh perhatian pada pembentukan kehidupan yang sehat. Oleh karena itu, segala unsur negatif, yang setiap hari dijejalkan oleh media TV kita sebagai sesuatu yang ”wajar”, haruslah secara tegas kita tolak.
Seperti pesan yang disampaikan Dhias (hlm. 112), ”Mari bersama-sama menghadirkan potensi-potensi manusia di rumah Anda, kamar Anda, ruang keluarga Anda. Tampilkan contoh-contoh yang layak ditiru karena hidup itu indah, manusia itu indah dan munculkan semangat hidup bermakna agar hidup orang yang belum melihat keindahan menjadi ikut indah.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain