Text
Dia yang Haram
Bu, Haram itu bukannya babi ya ? tanyaku pada ibu. saat itu usiaku baru enam tahun. pertanyaanku kala itu dan rentetan kejadian setelahnya masih kuingat sampai sekarang. Hmmmm bukannya menjawab ibu hanya berdehem sementara tangannya sibuk mengiris bawang di dapur warteg tempat ibu bekerja.
"Kenapa aku dipanggil anak haram? Apa aku anak babi? tanyaku lagi tak sabar.
Ibu menghentikan gerakan tangannya mengiris bawang, memandangku dengan sorot mata tajam dan rahang yang mengeras, tangannya mengepal.
"Kamu tuh bisa diam enggak sih!" bentak Ibu.
Bentakan Ibu seketika membuat napasku berhenti beberapa detik. Kakiku gemetar. Tatapan ibu membuatku langsung melengos takut.
"Main sana! Nanya yang enggak-enggak!"
Berlari aku keluar, kemudian duduk di pelataran warteg dengan napas terhimpit. Tubuhku menyelorot di balik dinding. Hingga beberapa lama aku hanya bisa duduk diam tanpa tahu harus melakukan apa.
Ibu tak paham, bukannya aku tak ingin bermain. Tapi mereka yang tak mau berteman denganku. Anak-anak di lingkungan tempatku tinggal selalu saja mengejekku dengan sebutan anak haram. Mereka jijik bermain denganku. Tetapi Ibu tak pernah mau tahu dan peduli. Yang kutahu, haram adalah babi dan babi haram untuk dimakan karena wajahnya yang jelek. Jadi di usiaku saat itu, aku mengira, aku adalah anak haram karena wajahku jelek. ...
Aku masih diam duduk sendirian sampai embusan angin melipir dan sedikit menyejukkan wajahku.
“Hanun, ngapain di sini?” Suara Pak Sueb tiba-tiba saja terdengar nyaring. Dia berjongkok di depanku kemudian tersenyum. "Hanun mau jajan?" tanyanya.
B420008108 | 813 ISR d | My Library (Kesusastraan) | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-11-25) |
Tidak tersedia versi lain