Text
Soedirman seorang panglima, seorang martir
Pagi itu, 19 Desember 1948, Panglima Besar bangkit dan memutuskan memimpin pasukan keluar dari Yogyakarta, mengkonsolidasikan tentara, dan mempertahankan Republik dengan bergerilya. Panglima Besar sudah terikat sumpah: haram menyerah bagi tentara. Karena ikrar inilah Soedirman menolak bujukan Sukarno untuk berdiam di Yogyakarta. Dengan separuh paru-paru, ia memimpin gerilya. Selama delapan bulan, dengan ditandu, ia keluar-masuk hutan. Di medan gerilya, Panglima Besar dipercaya bisa bersembunyi dari kejaran Belanda. Mampu menyembuhkan orang sakit dan—konon—menjatuhkan pesawat terbang dengan meniupkan bubuk merica.
Salah satu penyebab Soedirman tidak pernah tertangkap saat gerilya adalah ia selalu tahu jika musuh sudah mendekat. Bisa jadi itu karena instingnya memang benar-benar tajam.
Para penduduk yang rumahnya sempat ditumpangi sang jenderal yakin betul kalau pria kurus dengan napas tersekat itu betulan sakti. Bisa membuat tempat persembunyiannya tak terlihat pesawat Belanda dengan bantuan keris ajaib, bahkan konon bisa mendatangkan badai segala.
Soedirman memang menganut aliran Kejawen. Percaya klenik dan ke mana-mana menyandang keris.
Anehnya, Mohammad Roem sendiri mengakui kalau “klenik” Soedirman membuat dirinya berhasil memenangkan diplomasi Perjanjian Roem-Royen.
Menurut buku biografinya, sebelum mewakili Indonesia, Roem diminta Sukarno untuk mendatangi Soedirman agar “jiwanya bisa diperkuat”.
Setelah itu, Soedirman mendatangkan “orang pintar” yang memberinya selembar kertas berisi doa-doa.
Roem percaya ia jadi PD untuk membungkam mulut delegasi Belanda berkat mengantungi kertas itu sepanjang pertemuan.
B450008252 | 923.5 SOE s | My Library (Geografi dan Sejarah) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain